Senin, 21 November 2016

UPAYA PENINGKATAN BUDAYA KESELAMATAN PEKERJA RADIASI RUMAH SAKIT DI INDONESIA "1"

UPAYA PENINGKATAN BUDAYA KESELAMATAN PEKERJA
RADIASI RUMAH SAKIT DI INDONESIA

Muhammad Khoiri
Sekolah Tinggi Teknologi Nuklir-Badan Tenaga Nuklir Nasional
Jl. Babarsari P.O.Box 6101 YKBB Yogyakarta 55281
Corresponding author,Telp. 0274)48085,489716 ; Fax: (0274)489715;
email: mkhoiri@sttn-batan.ac.id

Abstrak 

UPAYA PENINGKATAN BUDAYA KESELAMATAN PEKERJA RADIASI RUMAH SAKIT DI
INDONESIA
. Akhir-akhir ini telah terjadi pergeseran cara pengukuran keselamatan dan keamanan kerja,dari pengukuran yang semata-mata melihat jumlah atau tingkat kecelakaan kerja menuju ke pengukuran yang fokus pada budaya keselamatan. Budaya keselamatan yang baik akan membentuk pola perilaku amandari perorangan maupun kelompok dalam program keselamatan. Tulisan ini dimaksudkan untuk merumuskan upaya meningkatkan budaya keselamatan bagi para pekerja radiasi rumah sakit. Perumusan upaya ini dilakukan melalui kajian terhadap beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan budaya keselamatan dan perilaku pekerja radiasi rumah sakit di Indonesia. Kajian ini juga mengacu INSAG-4 dariIAEA dan peraturan-peraturan BAPETEN. Berdasarkan kajian ini didapatkan bahwa tingkat kinerja budaya keselamatan di lingkungan rumah sakit di Indonesia secara umum cukup baik, tetpi masih dapat dan perlu ditingkatkan melalui pendekatan discretionary, misalnya selalu melibatkan pekerja secara optimal, komunikasi yang baik antara pihak manajemen dan pekerja, dan pendidikan/pelatihan yang dibutuhkan. Kata kunci:budaya keselamatan, perilaku pekerja, pekerja radiasi rumah sakit.

Abstract

EFFORTS TO INCREASE SAFETY CULTURE OF RADIATION WORKERS IN HOSPITAL IN
INDONESIA. Recently, there has been changes in the way of safety and job security measures, from
measurements the number or level of workplace accidents to be themeasurement that focus on safety culture. A good safety culture will establish safe patterns of behavior of individuals and groups in the safety program. This paper is intended to formulate an effort to improve safety culture for radiation workers in hospital. The formulation of this effort is done through a review of some research results related to safety culture and behavior of radiation workers in hospital in Indonesia. This study also refers INSAG-4 from the IAEA and the rules of BAPETEN. Based on this study it was found that the level of performance of safety culture in hospitals in Indonesia are generally good enough, but has still to be enhanced through a discretionary approach, for example, always involves an optimal worker, good communication between management and workers, and education/training required. Keywords: safety culture, behavior of worker, radiation worker in hospital

PENDAHULUAN
Penggunaan radiasi pengion dewasa ini telah berkembang pesat dalam banyak aspek kehidupan,tak terkecuali dalam bidang kesehatan/kedokteran,karena kebutuhan manusia sendiri. Radiasi pengion yang digunakan dalam bidang kedokteran dapat berupa sinar-X, sinar-γ, atau radiasi pengion yang lain. Radiasi-radiasi ini mempunyai potensi bahaya tehadap manusia yang tidak dapat diabaikan. Bahaya radiasi pengion ini adalah ketika radiasi pengion menembus bahan terjadi tumbukan foton dengan atom-atom bahan yang akan menimbulkan ionisasi. Kejadian inilah yang memungkinkan timbulnya bahaya terhadap tubuh, baik yang bersifat deterministik, maupun stokastik. Efek
negatif ini dapat berupa somatik akut (luka bakar,anemia, kemandulan, katarak, dsb), efek somatik
laun (late somatic effect) seperti kanker dan leukemia, serta efek genetik (Wiharto dkk., 1997).
Oleh karena itu upaya untuk meningkatkan aspek keselamatan radiasi ini harus selalu diperhatikan
dan diusahakan. Akhir-akhir ini telah terjadi pergeseran cara pengukuran keselamatan dan keamanan kerja, dari pengukuran yang semata-mata melihat jumlah atau tingkat kecelakaan kerja menuju ke pengukuran yang fokus pada budaya (iklim) keselamatan (Cooper, 2000). Istilah budaya keselamatan ‘safety culture’ pertama kali muncul dalam OECD Nuclear Agency Report tahun 1987 yang dimuat dalam INSAG tahun 1988 yang dilatarbelakangi oleh kecelakaan reaktor nuklir di Chernobyl pada tahun 1986 (Cooper, 2000). Istilah budaya keselamatan ini kemudian secara internasional dipahami sebagai budaya atau atmosfer perusahaan dimana masalah keselamatan dimengerti dan diterima menjadi prioritas utama dalam perusahaan.Di Indonesia budaya keselamatan tertuangdalam UU No. 10 tahun 1997 tentang Undangundang Ketenaganukliran. Pada penjelasan Pasal 15, yaitu pasal tentang tujuan dan maksudpengawasan, dinyatakan bahwa budaya keselamatan mensyaratkan agar semua kewajiban yang berkaitan dengan keselamatan harus dilaksanakan secara benar, seksama, dan penuh rasa tanggung jawab. Hal ini diperkuat dengan peraturan bahwa di setiap fasilitas pengguna radiasi pengion atau tenaga nuklir diwajibkan mewujudkan budaya keselamatan (PP No. 33 Tahun 2007). Menurut Reason (1997) dalam Andi et al. (2005) dua penyebab utama gagalnya sistem
keselamatan adalah perilaku tidak aman pekerja dan kondisi laten yang berasal dari faktor organisasi dan lingkungan kerja. Oleh karena itu usaha untuk mencegah terjadinya kecelakaan kerja akan lebihberhasil apabila pihak manajemen menyingkirkan masalah-masalah yang ada pada perusahaan sedini mungkin, yaitu faktor organisasi. Selain menyingkirkan masalah, usaha ini akan membentuk
budaya keselamatan yang baik dan dapat mendorong pekerja berperilaku aman. Perilaku aman ini penting diperhatikan di fasilitas berradiasi, karena 68% penyebab terjadinya kecelakaan radiasi
pada tahun 1960 – 1968 adalah kesalahan operator, seperti yang dilaporkan USEAC (BATAN, 2006).
Di dalam TECDOC-1329 (IAEA, 2002) dinyatakan bahwa budaya akan membentuk perilaku-perilaku khusus, sehingga budaya keselamatan akan membentuk pola perilaku dari perorangan maupun kelompok dalam program kesehatan dan keselamatan. Beranjak permasalahan tersebut, tulisan ini dimaksudkan untuk merumuskan upaya meningkatkan budaya keselamatan bagi para pekerja radiasi di rumah sakit.

METODE
Perumusan upaya meningkatkan budaya keselamatan bagi para pekerja radiasi di rumah sakit ini dilakukan melalui kajian terhadap beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan budaya keselamatan dan perilaku pekerja radiasi di rumah sakit di Indonesia, terutama hasil penelitian yang
dilakukan oleh Yusri, H dan Johnny Situmorang (2000) tentang sikap terhadap keselamatan dari
pekerja radiasi rumah sakit dan industri di Indonesia, serta hasil penelitian yang dilakukan oleh
Khoiri, dkk. (2010) tentang pengaruh budaya keselamatan terhadap perilaku K3 pada pelayanan
radiologi rumah sakit. Kajian ini juga mengacu pada dokumen-dokumen IAEA, terutama INSAG 4
(IAEA, 1991) dan peraturan-peraturan dari BAPETEN terutama yang berkaitan dengan keselamatan radiasi, khususnya di rumah sakit.

DEFINISI DAN KONSEP BUDAYA KESELAMATAN
Beberapa definisi budaya keselamatan dalam Andiet al. (2005), yaitu: pertama oleh Utal (1983)
”budaya keselamatan adalah bagian kepercayaan dan nilai yang berhubungan dengan sistem kontrol dan struktur organisasi yang membentuk norma perilaku”. Kedua oleh Turner (1992) ”budaya keselamatan adalah serangkaian dari kepercayaan, norma, perilaku, aturan, dan praktek teknis dan
sosial yang sangat berhubungan dengan upaya meminimalkan bahaya dan kecelakaan kerja yang akan menimpa pekerja, manajer, pelanggan, dan masyarakat”. Ketiga, menurut INSAG-4 (IAEA, 1991) ”budaya keselamatan adalah gabungan dari karakteristik dan sikap dalam organisasi dan
individu yang menetapkan bahwa, sebagai prioritas utama, masalah keselamatan instalasi nuklir
memperoleh perhatian yang sesuai dengan kepentingannya. Walau budaya keselamatan merupakan konsep abstrak tetapi memainkan peran penting dalam menentukan unjuk kerja keselamatan pekerja dan lingkungan di industri yang menggunakan teknik radiografi dengan dosis radiasi yang tinggi. Hal ini teridentifikasi di RTD Netherlands. Oleh karena itubudaya keselamatan perlu dikembangkan dan
dipelihara oleh perusahaan dalam mendorong perilaku kerja yang positif untuk keselamatan
radiasi (Van Sonsbeek, 2006) Sifat universal budaya keselamatan untuk semua jenis kegiatan, baik untuk organisasi maupun untuk individu pada semua tingkatan, mencakup berbagai unsur, seperti yang tercantum dalam Safety Report 75-INSAG-4 (IAEA, 1991), yaitu:
1) Kepedulian individu terhadap pentingnya keselamatan.
2) Pengetahuan dan kompetensi, yang diperoleh melalui pelatihan dan instruksi personil maupun belajar sendiri.
3) Komitmen, yang menuntut teladan pada tingkat manajemen senior dalam memprioritaskan keselamatan, dan adopsi oleh individu tentang tujuan keselamatan umum.
4) Motivasi, melalui kepemimpinan, penetapan tujuan dan sistem penghargaan dan sangsi, dan
melalui sikap individu yang timbul dengan sendirinya.
5) Supervisi, termasuk kegiatan audit dan peninjauan ulang, dengan kesiapan untuk merespon sikap mempertanyakan individu.
6) Tanggung jawab, melalui penugasan formal dan uraian tugas dan pemahamannya oleh individu Oleh karena itu budaya keselamatan mempunyai dua komponen utama. Komponen pertama, yang terdiri dari komitmen tingkat pengambil kebijakan dan komitmen tingkat manajer, adalah kerangka kerja yang diperlukan dalam suatu organisasi dan hal ini merupakan
tanggung jawab dari hirarki manajemen. Komponen kedua adalah sikap/perilaku staf pada semua
tingkatan dalam merespon dan memanfaatkan kerangka kerja tersebut.

SIKAP PEKERJA RADIASI RUMAH SAKIT TERHADAP KESELAMATAN
Sikap pekerja radiasi rumah sakit di sini adalah review makalah dari hasil penelitian yang dilakukan
oleh Yusri, dkk. (2000). Penelitian dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada pekerja radiasi di beberapa rumah sakit di indonesia secara acak. Kusioner yang kembali dari pekerja radiasi tersebut
sebanyak 69 buah. Faktor budaya keselamatan yang digunakan dalam penelitian ini ada 5 buah, yaitu: (1) efektivitas prosedur keselamatan kerja, (2) tingkatkeselamatan kerja, (3) sikap terhadap keselamatankerja, (4) perhatian pimpinan terhadap keselamatankerja, dan (5) tingkat kecelakaan kerja. Kelimafaktor ini kemudian dijabarkan dalam 39 indikator/pertanyaan. Berikut hasil evaluasi kuesioner pada pekerja radiasi rumah sakit: Pertama, tanggapan terhadap prosedur keselamatan kerja di lingkungan rumah sakit adalah 40,9% baik, 16,7% sedang, dan 42,4% kurang. Kedua, tingkat keselamatan kerja di lingkungan rumah sakit adalah 61,4% baik, 22,3% sedang, dan 16,2% kurang. Ketiga, perhatian pimpinan terhadap keselamatan kerja di lingkungan rumah sakit adalah 52,5% baik, 20,0% sedang, dan 27,5% kurang. Keempat, sikap terhadap keselamatn kerja di lingkungan rumah sakit adalah 44,5% baik, 16,5% sedang, dan 39,5% kurang. Kelima, dari 69 responden dengan masa kerja rata-rata 8,8.

PENGARUH BUDAYA KESELAMATAN TERHADAP PERILAKU PEKERJA RADIASI RUMAH SAKIT

Pengaruh budaya keselamatan terhadap perilaku pekerja rumah sakit di sini adalah review makalah
dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Khoiri, dkk. (2010). Penelitian dilakukan dengan menyebarkan 60 set kuesioner kepada 73 pekerja radiologi sebuah rumah sakit X yang mempunyai
catatan dosis radiasi. Kusioner yang kembali dan dapat diolah sebanyak 38 buah. Faktor budaya keselamatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 6 buah, yaitu: (1) komitmen top manajemen, (2) peraturan danprosedur keselamatan kerja, (3) komunikasi, (4) kompetensi pekerja, (5) keterlibatan pekerja, dan (6) lingkungan kerja. Keenam faktor ini adalah faktor-faktor utama pembentuk budaya keselamatanyang sering dipakai di industri dan telah dikonfirmasi dengan faktor-faktor pembentuk budaya keselamatan yang ada di INSAG-4 (IAEA, 1991). Kemudian keenam faktor ini diuraikan
menjadi 68 indikator/pertanyaan. Keenam faktor budaya keselamatan tersebut dibuat model untuk mengetahui pengaruh budaya keselamatan terhadap perilaku K3 pekerja radiologi rumah sakit. Faktor perilaku pekerja ini dijabarkan menjadi 21 indikator/pertanyaan. Pembuatan model menggunakan metode structural equationmodelling – partial least square (SEM PLS)
PEMBAHASAN
Dari Tabel 1 ada empat faktor budaya keselamatan yang mempengaruhi perilaku pekerja, yaitu:
komitmen top manajemen, komunikasi, kompetensi pekerja, dan keterli batan pekerja. Penelitian ini menunjukkan bahwa walau faktor komitmen top manajemen tidak berpengaruh langsung terhadap
perilaku K3 namun merupakan faktor utama dalam mempengaruhi budaya keselamatan. Peraturan dan prosedur keselamatan kerja, dan lingkungan kerja tidak berpengaruh. Komitmen top manajemen merupakan faktor utama itu sesuai dengan yang dikemukakan oleh
SEMINAR NASIONAL VISDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010
ISSN 1978-0176M. Khoiri 575 STTN-BATAN & Fak. Saintek UIN SUKA Turner (1992) dan Pigeon (1998) dalam Andi et al. (2005) bahwa komitmen pihak manajemen baik yang berupa tindakan, tulisan, maupun kata-kata, menjadi faktor terpenting untuk terciptanya budaya keselamatan. Demikian juga INSAG-4 (IAEA, 1991) menyatakan bahwa untuk membentuk budaya
keselamatan hendaklah mulai dari awal, dari top management dan keberhasilan penerapannya
dicerminkan oleh komitmen manajemen dan kompetensi pekerja. Maka, hendaknya pihak manajemen puncak memandang keselamatan sebagai bagian tidak terpisahkan dari strategi untuk
pengendalian resiko radiasi. Apalagi dampak radiasi sering kali bersifat jangka panjang, sehingga mudah terabaikan. Dari penelitian yang dilakukan oleh Yusri, H. Dan Situmorang (2000) ditemukan bahwa perhatian pimpinan rumah sakit terhadap keselamatan kerjabaik, yaitu 52,5%, maka hal ini akan sangat berpengaruh terhadap perilaku keselamatan pekerja radiasi rumah sakit (Khoiri, dkk., 2010) sehingga sistem keselamatan akan bekerja baik (Reason, 1997 dalam Andi et al., 2005) yang pada akhirnya tingkat status budaya keselamatan juga baik. Hal ini terbukti dengan ditemukannya tingkat keselamatan kerja yang baik, yaitu 61,4% dan tingkat kecelakaan pekerja radiasi rumah sakit relatif kecil, yaitu selama 27 tahun hanya ada satu responden yang pernah mengalami kecelakaan dari 69 responden. Temuan menarik dari penelitian yang dilakukanKhoir, dkk. (2010)
Menurut Reason (1997) dalam Andi et al. (2008) perilaku pekerja bisa dikendalikan lewat
pendekatan secara kaku (prescriptive) berdasarkan peraturan, secara fleksibel (discretionary)
berdasarkan pengalaman/pelatihan, atau kombinasi dua pendekatan ini. Hasil penelitian yang dilakukan Khoiri (2010) menunjukkan bahwa peraturan dan prosedur kerja tidak berpengaruh pada perilaku pekerja radiasi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian oleh Yusri dan Situmorang (2000) yang menyatakan bahwa para pekerja radiasi rumah sakit memberikan tanggapan buruk terhadap efektivitas prosedur keselamatan dan sistem keselamatan. Oleh karena itu untuk memperbaiki perilaku pekerja radiasi untuk meningkatkan keselamatan lebih tepat dikendalikan secara discretionary. Alasannya adalah walau pengaruh langsung faktor komunikasi terhadap perilaku pekerja tidak ada tetapi pengaruh menyeluruhnya relatif besar, serta komunikasi antara manajemen dan staf merupakan faktor penting meningkatkan kompetensi dan keterlibatan pekerja, dimana dua faktor ini sangat berpengaruh pada perilaku pekerja (Khoiri dkk., 2010). Pengendalian secara discretionary dapat dikatakan pengendalian secara internal, yang dalam keselamatan radiasi di rumah sakit dilakukan untuk menumbuhkan kesadaran dalam diri pekerja radiasi terhadap pentingnya budaya keselamatan, yang dapat dilakukan dengan selalu melibatkan pekerja secara optimal, melakukan komunikasi dua arah dengan pekerja, memberikan pendidikan/pelatihan: K3, proteksi dan keselamatan radiasi, maupun bidang lain untuk meningkatkan kompetensi pekerja. Hal ini sesuai Keputusan Kepala BAPETEN Nomor 01-P/Ka-BAPETEN/I-03, yaitu bahwa pekerja yang berkaitan dengan radiasi harus mendapat pelatihan yang berhubungan pekerjaan maupun yang berhubungan dengan efek atau resiko pekerjaan tersebut.

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dalam tulisan ini, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Tingkat kinerja budaya keselamatan dilingkungan rumah sakit di Indonesia secara umum baik.
2. Faktor-faktor budaya keselamatan yang sangat berpengaruh untuk meningkatkan perilaku aman bagi pekerja radiasi rumah sakit adalah: komitmen top manajemen, komunikasi, kompetensi, dan keterlibatan aktif pekerja.
3. Untuk meningkatkan budaya keselamatan pekerja radiasi rumah sakit, khususnya dalam mengendalikan perilaku aman bagi pekerja lebih tepat menggunakan pendekatan secara discretionary, misalnya selalu melibatkan pekerja secara optimal, melakukan komunikasi dua arah dengan pekerja, memberikan pendidikan/pelatihan.

 SARAN
Perhatian harus lebih diarahkan pada faktor-faktor budaya keselamatan dalam membentuk perilaku K3 pekerja. Namun, upaya untuk dapat mengukur atau mengevaluasi faktor-faktor ini tidaklah mudah. Diharapkan penelitian mendatang memberikan masukan cara mengevaluasi budaya keselamatan bagi pekerja radiasi di rumah sakit. Serta perlu penelitian lanjutan untuk menemukan faktor-faktor lain yang berpengaruh dalam membentuk perilakupekerja radiasi rumah sakit. Untuk meningkatkan efektivitas penerapan, evaluasi, dan pengembangan budaya keselamatan bagi para pekerja radiasi rumah sakit perlu diadakan secara rutin kelompok diskusi atau seminar internal untuk membahas tentang budaya keselamatan

DAFTAR PUSTAKA
1. Andi, Ratna S. A., Aditya C., 2005, Model
persamaan structural pengaruh budaya
keselamatan kerja pada perilaku pekerja di
proyek konstruksi, Jurnal Teknik Sipil Vol. 12
No. 3, 2005.
2. BATAN, 2006, Proteksi Radiasi, Radiografi
Level I, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Badan
Tenaga Nuklir Nasional, Jakarta
3. Cooper, M.D., 2000, Towards a model of safety
culture, Safety Science.
4. IAEA, 1991, Safety culture, Safety Report 75-
INSAG-4
5. Keputusan Kepala BAPETEN No: 01/Ka-
BAPETEN/I-03 Tentang Pedoman Dosis Pasien
Radiodiagnostik

6. Khoiri, Muhammad; Rini Dharmastiti;
Bagaswoto Poedjomartono, 2010. Model
Pengaruh Budaya keselamatan Terhadap
perilaku K3 Pada Pelayanan Radiologi di
Instalasi Radiologi Rumah Sakit X, Prosiding
Koferensi Psikologi Eksperiman, UGM
7. PP No. 33, 2007, Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2007
Tentang Keselamatan Radiasi Pengion dan
Keamanan Sumber Radioaktif.
8. Van Sonsbeek, R, 2006, Developing a safety
culture in industrial radiography, ECNDT,
Rotgen Techniche Dients bv, Rotterdam, The
Natherlands.
9. Wiharto, K. dan Budiantari, C.T., 1997,
Paparan Medik Dalam Kedokteran Nuklir
Diagnostik, Buletin ALARA 1 (2), Pusat
Standarisasi dan Penelitian Keselamatan
Radiasi, BATAN
10. Yusri, H. dan Situmorang, J., 2000, Sikap
Terhadap keselamatan dari Pekerja Radiasi


SEMINAR NASIONAL VI SDM TEKNOLOGI NUKLIR YOGYAKARTA, 18 NOVEMBER 2010
ISSN 1978-0176

Tidak ada komentar:

Posting Komentar