Senin, 21 November 2016

Hubungan Antara Efikasi Diri Dan Dukungan Sosial Dengan Kebermaknaan Hidup Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Yogyakarta "3"

Hubungan Antara Efikasi Diri Dan Dukungan Sosial Dengan Kebermaknaan Hidup Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Yogyakarta

Fitria Sedjati
Fakultas Psikologi
Universitas Ahmad Dahlan
Jalan Kapas No. 9 Yogyakarta
v3a_78@yahoo.co.id

Abstact
       This study aimed to determine the correlation between self-efficacy and social support to the meaningfulness of life in patients with pulmonary tuberculosis who were undergoing treatment at the Medical Center Lung Disease. Subjects in this study were patients with pulmonary tuberculosis undergoing regular treatment at Medical Clinic Lung Disease Yogyakarta totaling 53 people. Measuring devices used in this research is Life Meaningfulness Scale, Self-Efficacy Scale and the Social Support Scale. Analysis of the statistical method of multiple regression analysis using SPSS 16 for windows. The results showed: (1) there was a significant relationship between self-efficacy and social support to the meaningfulness of life with R = 0.702 and p = 0.000 (p <0.01), (2) there is a significant positive relationship between self-efficacy to the meaningfulness living with r = 0606 and p = 0.000 (p <0.01), (3) there was a significant positive relationship between social support to the meaningfulness of life with r = 0.310 and p = 0.025 (p <0.05).
Keyword: Meaningfulness of Life, Social.

 Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara efikasi diri dan dukungan sosial dengan kebermaknaan hidup pada penderita tuberkulosis paru yang sedang menjalani pengobatan di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru. Subjek dalam penelitian ini adalah penderita tuberkulosis paru yang menjalani pengobatan secara rutin di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) Yogyakarta yang berjumlah 53 Orang. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Kebermaknaan Hidup, Skala Efikasi Diri dan Skala Dukungan Sosial. Analisis dengan metode statistik analisis regresi berganda dengan menggunakan bantuan program SPSS 16 for windows. Hasil menunjukkan : (1) ada hubungan yang sangat signifikan antara efikasi diri dan dukungan sosial dengan kebermaknaan hidup dengan R = 0,702 dengan p = 0,000 (p<0,01), (2) ada hubungan positif yang sangat signifikan antara efikasi diri terhadap kebermaknaan hidup dengan nilai r = 0606 dan p = 0,000 (p<0,01), (3) ada hubungan positif yang signifikan antara dukungan sosial terhadap kebermaknaan hidup dengan nilai r= 0,310 dan p=0,025 (p<0,05).
Kata kunci : Kebermaknaan Hidup, Efikasi Diri, Dukungan Sosial.

Pendahuluan

Penyakit paru bukanlah penyakit yang baru di Indonesia. Terutama penyakit paru karena infeksi, seperti pada penyakit Tuberkulosis paru. Menurut WHO, prevelensi kasus penyakit tuberculosis paru di Indonesia ialah 130/100.000, setiap tahun ada 539.000 kasus baru dan jumlah kematian sekitar 101.000 pertahun. Penyakit tuberkulosis paru ini merupakan penyebab kematian urutan ketiga setelah penyakit jantung dan penyakit saluran pernapasan. (WHO, 2005). Setiap tahun diperkirakan dari sembilan juta penderita tuberkulosis ada tiga juta penderita meninggal, dan sembilan puluh lima persen berada di Negara-negara berkembang terutama di Asia Tenggara. Angka kematian ini merupakan dua puluh lima persen dari kematian yang sebenarnya dapat dicegah (Depkes RI, 2002).
Hampir 10 tahun lamanya Indonesia menempati urutan ketiga sedunia dalam hal jumlah penderita tuberkulosis (Tb). Berdasarkan Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2005 menyatakan jumlah penderita Tuberkulosis di Indonesia sekitar 528 ribu atau berada di posisi tiga di dunia setelah India dan Cina. Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar 429 ribu orang dan masuk dalam milestone atau pencapaian kinerja 1 tahun Kementerian Kesehatan. Lima negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada tahun 2009 adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia (WHO Global Tuberculosis Control, 2010).
Pada Global Report WHO 2010, didapat data TB Indonesia, Total seluruh kasus TB tahun 2009 sebanyak 294731 kasus, dimana 169213 adalah kasus TB baru BTA positif, 108616 adalah kasus TB BTA negatif, 11215 adalah kasus TB
Extra Paru, 3709 adalah kasus TB Kambuh, dan 1978 adalah kasus pengobatan ulang diluar kasus kambuh (retreatment, excl relaps).
Menurut Kleinman (Kelly, 2003) meskipun para ahli kesehatan dapat melihat tuberkulosis sebagai masalah kesehatan masyarakat yang dapat disembuhkan secara efisien dalam waktu 2 sampai 6 bulan dengan obat, tetapi penderita tetap mengalami tekanan batin. Bagi mereka, tuberkulosis adalah penyakit yang memalukan, membuat mereka diisolasi, dan dikucilkan, karena stigma dicap sebagai transmitter penyakit. Hal tersebut yang menjadi alasan atau penyebab seseorang yang mengidap penyakit tuberkulosis menjadi merasa kurang memiliki makna hidup yang baik.
Bastaman (2007) mengatakan bahwa makna hidup adalah hal-hal yang dianggap sangat penting dan berharga serta memberikan nilai khusus bagi seseorang, sehingga layak dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Pada penderita TB paru selain faktor fisik, penting juga diperhatikan faktor psikologis antara lain pemahaman individu yang dapat mempengaruhi persepsi terhadap penyakit. Persepsi negatif terhadap penyakit TB paru akan menyebabkan penderita takut dan menolak sehingga timbul keinginan untuk mencari pengobatan. Selain itu diagnosis penderita TB paru, akan mempengaruhi kepatuhan penderita untuk kontrol medis dan minum obat. Faktor psikososial berperan dalam pembentukan stigma terhadap penderita oleh lingkungan dan keluarga. Penerimaan penderita ketika mengetahui bahwa dirinya menderita tuberkulosis bervariasi, sebagian besar mereka mengatakan terkejut, sedih, kecewa, marah dan akhirnya pasrah, bahkan ada yang merasakan putus asa dan tidak memiliki makna hidup yang berarti. Persepsi terhadap sakit ditunjukkan dengan perubahan perilaku, seperti marah-marah, lebih banyak di rumah, menghindar dan membatasi diri dan menarik diri, atau bisa dikatakan bahwa individu menunjukkan krisis efikasi diri. Selain itu penderita merasa ketakutan akan isolasi dan perlakuan negatif dari masyarakat bila mengetahui dirinya menderita TB (Ginting, dkk, 2008).
Tuberkulosis paru adalah contoh klasik dari penyakit medis dan masalah sosial yang berhubungan dengan kemiskinan. Stigma yang terkait dengan tuberkulosis menambah beban baik laki-laki dan perempuan yang telah berumah tangga. Sebuah survey dilakukan di india, diperkirakan 100.000 perempuan ditolak oleh keluarga setiap tahunnya karena menderita penyakit tuberkulosis paru (Jaggarajamma, dkk, 2008). Penyakit Tb memberikan dampak lingkungan keluarga, stigma atas penyakit Tb ini merupakan hal yang sering dialami penderita. Hampir semua penderita mengalami perlakuan yang negatif dari lingkungan atau keluarga, tetapi ada juga yang mendapatkan dukungan dan perlakuan yang baik. Perlakuan negatif ini dapat menjadi stersor dan beban psikologis bagi penderita, sehingga penderita merasa hidupnya tidak berharga dan
tidak bermakna, sedangkan perlakuan baik dari keluarga dapat membantu penderita menghadapi penyakit Tb yang dideritanya. Selain itu menurut Johnson, stigma yang diterima menyebabkan penderita ketakutan terhadap isolasi sosial dan menunda untuk mencari pengobatan (Ginting, dkk, 2008).
Bagi para penderita tuberkulosis (TB) yang belum ataupun telah sembuh dari penyakitnya, tentu saja tidak mudah untuk bisa kembali melakukan aktifitas-aktifitas seperti semula sebelum mengidap penyakit tuberkulosis. Hal ini tentunya membutuhkan banyak dukungan dari orang-orang di sekitarnya dan bagaimana penderita bisa memaknai lebih dalam apa yang sudah terjadi dalam hidupnya. Individu penderita tuberkulosis kurang memiliki makna hidup yang berarti karena merasa kurang mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan disekitarnya akibat sikap yang diterimanya yakni dikucilkan dalam keluarga dan lingkungan disekitarnya serta menganggap dirinya kurang mampu untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat atau merasa kurang produktif karena mengidap penyakit Tb paru
Hal ini tentunya membutuhkan banyak dukungan dari orang-orang di sekitarnya dan bagaimana penderita bisa memaknai lebih dalam apa yang sudah terjadi dalam hidupnya. Individu penderita tuberkulosis kurang memiliki makna hidup yang berarti karena merasa kurang mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan disekitarnya akibat sikap yang diterimanya yakni dikucilkan dalam keluarga dan lingkungan disekitarnya serta menganggap dirinya kurang mampu untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat atau merasa kurang produktif karena mengidap penyakit Tb paru akibat individu memiliki tingkat efikasi diri yang kurang di dalam dirinya.
Bastaman (1996) menyatakan bahwa kebermaknaan hidup adalah penghayatan individu terhadap hal-hal yang dianggap penting, dirasakan berharga, diyakini kebenarannya, dan memberi nilai khusus bagi seseorang, sehingga dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Bila kebermaknaan hidup tersebut berhasil dipenuhi akan menyebabkan individu merasakan kehidupan yang berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia.
Kebermaknaan Hidup menurut Frankl (Bastaman, 2007) dapat diwujudkan dalam sebuah keinginan menjadi orang yang berguna bagi orang lain, apakah itu bagi keluarga, teman dekat, komunitas negara bahkan umat manusia. Orang yang memiliki makna akan beranggapan bahwa hidup ini bukan untuk mengejar kesenangan atau menghindari penderitaan, melainkan untuk menemukan makna dibalik kehidupan itu sendiri.
Makna hidup bersifat personal, spesifik, absolute, dan universal. Bagi kalangan yang kurang menghargai nilai-nilai keagamaan, alam, semesta, pandangan filsafat dan ideologi tertentu dianggap memiliki nilai universal dan dijadikan sumber makna hidupnya. Bagi kalangan yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dan agama merupakan sumber makna hidupnya Kebermaknaan hidup akan dimiliki seseorang jika dia dapat mengetahui apa makna dan tujuan hidupnya.
Frankl (Bastaman, 2007) menyebutkan tiga aspek dari kebermaknaan hidup yang saling terkait satu sama lainnya, yaitu:
a. The freedom of will (kebebasan berkehendak)
Kebebasan yang dimaksud tidak bersifat mutlak dan tidak terbatas. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk menentukan sikap terhadap kondisi biologis, psikologis, sosiokultural dan kesejarahannya, namun harus
diimbangi dengan tanggung jawab agar tidak berkembang menjadi kesewenan-wenangan. Kualitas diatas menunjukkan bahwa manusia adalah individu yang dapat mengambil jarak dari kondisi dari luar dirinya (sosiokultural dan kesejarahannya) dan kondisi yang dating dari dalam dirinya (biologis dan psikologis)Hal ini tentunya membutuhkan banyak dukungan dari orang-orang di sekitarnya dan bagaimana penderita bisa memaknai lebih dalam apa yang sudah terjadi dalam hidupnya. Individu penderita tuberkulosis kurang memiliki makna hidup yang berarti karena merasa kurang mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan disekitarnya akibat sikap yang diterimanya yakni dikucilkan dalam keluarga dan lingkungan disekitarnya serta menganggap dirinya kurang mampu untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat atau merasa kurang produktif karena mengidap penyakit Tb paru akibat individu memiliki tingkat efikasi diri yang kurang di dalam dirinya.
Bastaman (1996) menyatakan bahwa kebermaknaan hidup adalah penghayatan individu terhadap hal-hal yang dianggap penting, dirasakan berharga, diyakini kebenarannya, dan memberi nilai khusus bagi seseorang, sehingga dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Bila kebermaknaan hidup tersebut berhasil dipenuhi akan menyebabkan individu merasakan kehidupan yang berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia.
Kebermaknaan Hidup menurut Frankl (Bastaman, 2007) dapat diwujudkan dalam sebuah keinginan menjadi orang yang berguna bagi orang lain, apakah itu bagi keluarga, teman dekat, komunitas negara bahkan umat manusia. Orang yang memiliki makna akan beranggapan bahwa hidup ini bukan untuk mengejar kesenangan atau menghindari penderitaan, melainkan untuk menemukan makna dibalik kehidupan itu sendiri.
Makna hidup bersifat personal, spesifik, absolute, dan universal. Bagi kalangan yang kurang menghargai nilai-nilai keagamaan, alam, semesta, pandangan filsafat dan ideologi tertentu dianggap memiliki nilai universal dan dijadikan sumber makna hidupnya. Bagi kalangan yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dan agama merupakan sumber makna hidupnya Kebermaknaan hidup akan dimiliki seseorang jika dia dapat mengetahui apa makna dan tujuan hidupnya.
Frankl (Bastaman, 2007) menyebutkan tiga aspek dari kebermaknaan hidup yang saling terkait satu sama lainnya, yaitu:
a. The freedom of will (kebebasan berkehendak)
Kebebasan yang dimaksud tidak bersifat mutlak dan tidak terbatas. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk menentukan sikap terhadap kondisi biologis, psikologis, sosiokultural dan kesejarahannya, namun harus
diimbangi dengan tanggung jawab agar tidak berkembang menjadi kesewenan-wenangan. Kualitas diatas menunjukkan bahwa manusia adalah individu yang dapat mengambil jarak dari kondisi dari luar dirinya (sosiokultural dan kesejarahannya) dan kondisi yang dating dari dalam dirinya (biologis dan psikologis) Hal ini tentunya membutuhkan banyak dukungan dari orang-orang di sekitarnya dan bagaimana penderita bisa memaknai lebih dalam apa yang sudah terjadi dalam hidupnya. Individu penderita tuberkulosis kurang memiliki makna hidup yang berarti karena merasa kurang mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan disekitarnya akibat sikap yang diterimanya yakni dikucilkan dalam keluarga dan lingkungan disekitarnya serta menganggap dirinya kurang mampu untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat atau merasa kurang produktif karena mengidap penyakit Tb paru akibat individu memiliki tingkat efikasi diri yang kurang di dalam dirinya.
Bastaman (1996) menyatakan bahwa kebermaknaan hidup adalah penghayatan individu terhadap hal-hal yang dianggap penting, dirasakan berharga, diyakini kebenarannya, dan memberi nilai khusus bagi seseorang, sehingga dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Bila kebermaknaan hidup tersebut berhasil dipenuhi akan menyebabkan individu merasakan kehidupan yang berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia.
Kebermaknaan Hidup menurut Frankl (Bastaman, 2007) dapat diwujudkan dalam sebuah keinginan menjadi orang yang berguna bagi orang lain, apakah itu bagi keluarga, teman dekat, komunitas negara bahkan umat manusia. Orang yang memiliki makna akan beranggapan bahwa hidup ini bukan untuk mengejar kesenangan atau menghindari penderitaan, melainkan untuk menemukan makna dibalik kehidupan itu sendiri.
Makna hidup bersifat personal, spesifik, absolute, dan universal. Bagi kalangan yang kurang menghargai nilai-nilai keagamaan, alam, semesta, pandangan filsafat dan ideologi tertentu dianggap memiliki nilai universal dan dijadikan sumber makna hidupnya. Bagi kalangan yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dan agama merupakan sumber makna hidupnya Kebermaknaan hidup akan dimiliki seseorang jika dia dapat mengetahui apa makna dan tujuan hidupnya.
Frankl (Bastaman, 2007) menyebutkan tiga aspek dari kebermaknaan hidup yang saling terkait satu sama lainnya, yaitu:
a. The freedom of will (kebebasan berkehendak)
Kebebasan yang dimaksud tidak bersifat mutlak dan tidak terbatas. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk menentukan sikap terhadap kondisi biologis, psikologis, sosiokultural dan kesejarahannya, namun harus
diimbangi dengan tanggung jawab agar tidak berkembang menjadi kesewenan-wenangan. Kualitas diatas menunjukkan bahwa manusia adalah individu yang dapat mengambil jarak dari kondisi dari luar dirinya (sosiokultural dan kesejarahannya) dan kondisi yang dating dari dalam dirinya (biologis dan psikologis)
Hal ini tentunya membutuhkan banyak dukungan dari orang-orang di sekitarnya dan bagaimana penderita bisa memaknai lebih dalam apa yang sudah terjadi dalam hidupnya. Individu penderita tuberkulosis kurang memiliki makna hidup yang berarti karena merasa kurang mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan disekitarnya akibat sikap yang diterimanya yakni dikucilkan dalam keluarga dan lingkungan disekitarnya serta menganggap dirinya kurang mampu untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat atau merasa kurang produktif karena mengidap penyakit Tb paru akibat individu memiliki tingkat efikasi diri yang kurang di dalam dirinya.
Bastaman (1996) menyatakan bahwa kebermaknaan hidup adalah penghayatan individu terhadap hal-hal yang dianggap penting, dirasakan berharga, diyakini kebenarannya, dan memberi nilai khusus bagi seseorang, sehingga dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Bila kebermaknaan hidup tersebut berhasil dipenuhi akan menyebabkan individu merasakan kehidupan yang berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia.
Kebermaknaan Hidup menurut Frankl (Bastaman, 2007) dapat diwujudkan dalam sebuah keinginan menjadi orang yang berguna bagi orang lain, apakah itu bagi keluarga, teman dekat, komunitas negara bahkan umat manusia. Orang yang memiliki makna akan beranggapan bahwa hidup ini bukan untuk mengejar kesenangan atau menghindari penderitaan, melainkan untuk menemukan makna dibalik kehidupan itu sendiri.
Makna hidup bersifat personal, spesifik, absolute, dan universal. Bagi kalangan yang kurang menghargai nilai-nilai keagamaan, alam, semesta, pandangan filsafat dan ideologi tertentu dianggap memiliki nilai universal dan dijadikan sumber makna hidupnya. Bagi kalangan yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dan agama merupakan sumber makna hidupnya Kebermaknaan hidup akan dimiliki seseorang jika dia dapat mengetahui apa makna dan tujuan hidupnya.
Frankl (Bastaman, 2007) menyebutkan tiga aspek dari kebermaknaan hidup yang saling terkait satu sama lainnya, yaitu:
a. The freedom of will (kebebasan berkehendak)
Kebebasan yang dimaksud tidak bersifat mutlak dan tidak terbatas. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk menentukan sikap terhadap kondisi biologis, psikologis, sosiokultural dan kesejarahannya, namun harus
diimbangi dengan tanggung jawab agar tidak berkembang menjadi kesewenan-wenangan. Kualitas diatas menunjukkan bahwa manusia adalah individu yang dapat mengambil jarak dari kondisi dari luar dirinya (sosiokultural dan kesejarahannya) dan kondisi yang dating dari dalam dirinya (biologis dan psikologis) Hal ini tentunya membutuhkan banyak dukungan dari orang-orang di sekitarnya dan bagaimana penderita bisa memaknai lebih dalam apa yang sudah terjadi dalam hidupnya. Individu penderita tuberkulosis kurang memiliki makna hidup yang berarti karena merasa kurang mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan disekitarnya akibat sikap yang diterimanya yakni dikucilkan dalam keluarga dan lingkungan disekitarnya serta menganggap dirinya kurang mampu untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat atau merasa kurang produktif karena mengidap penyakit Tb paru akibat individu memiliki tingkat efikasi diri yang kurang di dalam dirinya.
Bastaman (1996) menyatakan bahwa kebermaknaan hidup adalah penghayatan individu terhadap hal-hal yang dianggap penting, dirasakan berharga, diyakini kebenarannya, dan memberi nilai khusus bagi seseorang, sehingga dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Bila kebermaknaan hidup tersebut berhasil dipenuhi akan menyebabkan individu merasakan kehidupan yang berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia.
Kebermaknaan Hidup menurut Frankl (Bastaman, 2007) dapat diwujudkan dalam sebuah keinginan menjadi orang yang berguna bagi orang lain, apakah itu bagi keluarga, teman dekat, komunitas negara bahkan umat manusia. Orang yang memiliki makna akan beranggapan bahwa hidup ini bukan untuk mengejar kesenangan atau menghindari penderitaan, melainkan untuk menemukan makna dibalik kehidupan itu sendiri.
Makna hidup bersifat personal, spesifik, absolute, dan universal. Bagi kalangan yang kurang menghargai nilai-nilai keagamaan, alam, semesta, pandangan filsafat dan ideologi tertentu dianggap memiliki nilai universal dan dijadikan sumber makna hidupnya. Bagi kalangan yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dan agama merupakan sumber makna hidupnya Kebermaknaan hidup akan dimiliki seseorang jika dia dapat mengetahui apa makna dan tujuan hidupnya.
Frankl (Bastaman, 2007) menyebutkan tiga aspek dari kebermaknaan hidup yang saling terkait satu sama lainnya, yaitu:
a. The freedom of will (kebebasan berkehendak)
Kebebasan yang dimaksud tidak bersifat mutlak dan tidak terbatas. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk menentukan sikap terhadap kondisi biologis, psikologis, sosiokultural dan kesejarahannya, namun harus
diimbangi dengan tanggung jawab agar tidak berkembang menjadi kesewenan-wenangan. Kualitas diatas menunjukkan bahwa manusia adalah individu yang dapat mengambil jarak dari kondisi dari luar dirinya (sosiokultural dan kesejarahannya) dan kondisi yang dating dari dalam dirinya (biologis dan psikologis)Hal ini tentunya membutuhkan banyak dukungan dari orang-orang di sekitarnya dan bagaimana penderita bisa memaknai lebih dalam apa yang sudah terjadi dalam hidupnya. Individu penderita tuberkulosis kurang memiliki makna hidup yang berarti karena merasa kurang mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan disekitarnya akibat sikap yang diterimanya yakni dikucilkan dalam keluarga dan lingkungan disekitarnya serta menganggap dirinya kurang mampu untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat atau merasa kurang produktif karena mengidap penyakit Tb paru akibat individu memiliki tingkat efikasi diri yang kurang di dalam dirinya.
Bastaman (1996) menyatakan bahwa kebermaknaan hidup adalah penghayatan individu terhadap hal-hal yang dianggap penting, dirasakan berharga, diyakini kebenarannya, dan memberi nilai khusus bagi seseorang, sehingga dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Bila kebermaknaan hidup tersebut berhasil dipenuhi akan menyebabkan individu merasakan kehidupan yang berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia.
Kebermaknaan Hidup menurut Frankl (Bastaman, 2007) dapat diwujudkan dalam sebuah keinginan menjadi orang yang berguna bagi orang lain, apakah itu bagi keluarga, teman dekat, komunitas negara bahkan umat manusia. Orang yang memiliki makna akan beranggapan bahwa hidup ini bukan untuk mengejar kesenangan atau menghindari penderitaan, melainkan untuk menemukan makna dibalik kehidupan itu sendiri.
Makna hidup bersifat personal, spesifik, absolute, dan universal. Bagi kalangan yang kurang menghargai nilai-nilai keagamaan, alam, semesta, pandangan filsafat dan ideologi tertentu dianggap memiliki nilai universal dan dijadikan sumber makna hidupnya. Bagi kalangan yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dan agama merupakan sumber makna hidupnya Kebermaknaan hidup akan dimiliki seseorang jika dia dapat mengetahui apa makna dan tujuan hidupnya.
Frankl (Bastaman, 2007) menyebutkan tiga aspek dari kebermaknaan hidup yang saling terkait satu sama lainnya, yaitu:
a. The freedom of will (kebebasan berkehendak)
Kebebasan yang dimaksud tidak bersifat mutlak dan tidak terbatas. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk menentukan sikap terhadap kondisi biologis, psikologis, sosiokultural dan kesejarahannya, namun harus
diimbangi dengan tanggung jawab agar tidak berkembang menjadi kesewenan-wenangan. Kualitas diatas menunjukkan bahwa manusia adalah individu yang dapat mengambil jarak dari kondisi dari luar dirinya (sosiokultural dan kesejarahannya) dan kondisi yang dating dari dalam dirinya (biologis dan psikologis)Hal ini tentunya membutuhkan banyak dukungan dari orang-orang di sekitarnya dan bagaimana penderita bisa memaknai lebih dalam apa yang sudah terjadi dalam hidupnya. Individu penderita tuberkulosis kurang memiliki makna hidup yang berarti karena merasa kurang mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan disekitarnya akibat sikap yang diterimanya yakni dikucilkan dalam keluarga dan lingkungan disekitarnya serta menganggap dirinya kurang mampu untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat atau merasa kurang produktif karena mengidap penyakit Tb paru akibat individu memiliki tingkat efikasi diri yang kurang di dalam dirinya.
Bastaman (1996) menyatakan bahwa kebermaknaan hidup adalah penghayatan individu terhadap hal-hal yang dianggap penting, dirasakan berharga, diyakini kebenarannya, dan memberi nilai khusus bagi seseorang, sehingga dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Bila kebermaknaan hidup tersebut berhasil dipenuhi akan menyebabkan individu merasakan kehidupan yang berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia.
Kebermaknaan Hidup menurut Frankl (Bastaman, 2007) dapat diwujudkan dalam sebuah keinginan menjadi orang yang berguna bagi orang lain, apakah itu bagi keluarga, teman dekat, komunitas negara bahkan umat manusia. Orang yang memiliki makna akan beranggapan bahwa hidup ini bukan untuk mengejar kesenangan atau menghindari penderitaan, melainkan untuk menemukan makna dibalik kehidupan itu sendiri.
Makna hidup bersifat personal, spesifik, absolute, dan universal. Bagi kalangan yang kurang menghargai nilai-nilai keagamaan, alam, semesta, pandangan filsafat dan ideologi tertentu dianggap memiliki nilai universal dan dijadikan sumber makna hidupnya. Bagi kalangan yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dan agama merupakan sumber makna hidupnya Kebermaknaan hidup akan dimiliki seseorang jika dia dapat mengetahui apa makna dan tujuan hidupnya.
Frankl (Bastaman, 2007) menyebutkan tiga aspek dari kebermaknaan hidup yang saling terkait satu sama lainnya, yaitu:
a. The freedom of will (kebebasan berkehendak)
Kebebasan yang dimaksud tidak bersifat mutlak dan tidak terbatas. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk menentukan sikap terhadap kondisi biologis, psikologis, sosiokultural dan kesejarahannya, namun harus
diimbangi dengan tanggung jawab agar tidak berkembang menjadi kesewenan-wenangan. Kualitas diatas menunjukkan bahwa manusia adalah individu yang dapat mengambil jarak dari kondisi dari luar dirinya (sosiokultural dan kesejarahannya) dan kondisi yang dating dari dalam dirinya (biologis dan psikologis)Hal ini tentunya membutuhkan banyak dukungan dari orang-orang di sekitarnya dan bagaimana penderita bisa memaknai lebih dalam apa yang sudah terjadi dalam hidupnya. Individu penderita tuberkulosis kurang memiliki makna hidup yang berarti karena merasa kurang mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan disekitarnya akibat sikap yang diterimanya yakni dikucilkan dalam keluarga dan lingkungan disekitarnya serta menganggap dirinya kurang mampu untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat atau merasa kurang produktif karena mengidap penyakit Tb paru akibat individu memiliki tingkat efikasi diri yang kurang di dalam dirinya.
Bastaman (1996) menyatakan bahwa kebermaknaan hidup adalah penghayatan individu terhadap hal-hal yang dianggap penting, dirasakan berharga, diyakini kebenarannya, dan memberi nilai khusus bagi seseorang, sehingga dijadikan tujuan dalam kehidupan (the purpose in life). Bila kebermaknaan hidup tersebut berhasil dipenuhi akan menyebabkan individu merasakan kehidupan yang berarti dan pada akhirnya akan menimbulkan perasaan bahagia.
Kebermaknaan Hidup menurut Frankl (Bastaman, 2007) dapat diwujudkan dalam sebuah keinginan menjadi orang yang berguna bagi orang lain, apakah itu bagi keluarga, teman dekat, komunitas negara bahkan umat manusia. Orang yang memiliki makna akan beranggapan bahwa hidup ini bukan untuk mengejar kesenangan atau menghindari penderitaan, melainkan untuk menemukan makna dibalik kehidupan itu sendiri.
Makna hidup bersifat personal, spesifik, absolute, dan universal. Bagi kalangan yang kurang menghargai nilai-nilai keagamaan, alam, semesta, pandangan filsafat dan ideologi tertentu dianggap memiliki nilai universal dan dijadikan sumber makna hidupnya. Bagi kalangan yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dan agama merupakan sumber makna hidupnya Kebermaknaan hidup akan dimiliki seseorang jika dia dapat mengetahui apa makna dan tujuan hidupnya.
Frankl (Bastaman, 2007) menyebutkan tiga aspek dari kebermaknaan hidup yang saling terkait satu sama lainnya, yaitu:
a. The freedom of will (kebebasan berkehendak)
Kebebasan yang dimaksud tidak bersifat mutlak dan tidak terbatas. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan untuk menentukan sikap terhadap kondisi biologis, psikologis, sosiokultural dan kesejarahannya, namun harus
diimbangi dengan tanggung jawab agar tidak berkembang menjadi kesewenan-wenangan. Kualitas diatas menunjukkan bahwa manusia adalah individu yang dapat mengambil jarak dari kondisi dari luar dirinya (sosiokultural dan kesejarahannya) dan kondisi yang dating dari dalam dirinya (biologis dan psikologis) b. The will to meaning (kehendak hidup bermakna)
Kehendak untuk hidup bermakna merupakan keinginan manusia untuk menjadi orang yang berguna dan berharga bagi dirinya. Keinginan untuk hidup bermakna merupakan motivasi utama pada manusia. Hasrat ini yang mendorong manusia untuk melakukan berbagai kegiatan agar hidupnya dirasakan lebih berarti dan berharga. keluarga, dan lingkungan sekitarnya yang mampu memotivasi manusia untuk bekerja, berkarya dan melakukan kegiatan-kegiatan penting lainnya agar hidupnya berharga dan dihayati secara bermakna, hingga akhirnya akan menimbulkan kebahagiaan dan kepuasan dalam menjalani kehidupan.
c. The meaning of life (makna hidup)
Makna hidup merupakan sesuatu yang dianggap penting, benar dan didambakan serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup tidak dapat diberikan oleh siapapun, melainkan harus dicari dan ditemukan sendiri. Dalam makna hidup terkandung pula tujuan hidup, yaitu hal-hal yang ingin dicapai dan dipenuhi dalam hidup.
Kebermaknaan hidup seseorang dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor internal dan faktor eksternal, Faktor internal disini yaitu efikasi diri, sedangkan faktor eksternalnya yaitu dukungan sosial.
Menurut Bandura (1997) mendefinisikan efikasi diri sebagai perkiraan seseorang tentang kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan serangkaian tindakan yang diperlukan untuk menyelesaikan suatu tugas tertentu. Individu dapat saja mempercayai bahwa sebuah perilaku tertentu membuahkan konsekuensi tertentu, akan tetapi apabila individu tersebut mempunyai keraguan yang besar terhadap kemampuannya maka informasi tentang konsekuensi itu akan berpengaruh pada perilakunya. Hal ini pula menjadi alasan mengapa efikasi diri merupakan prediktor perilaku yang lebih baik daripada outcome expectancy. Keyakinan individu bahwa individu dapat menyelesaikan tugas dengan baik akan menentukan perilaku atau tindakan yang benar-benar dilakukan individu tersebut, seberapa besar usaha yang dilakukan dan seberapa besar ketahanan perilaku tersebut untuk mencapai tujuan akhir.
Bandura (1997) mengemukakan beberapa dimensi dari efikasi diri, di antaranya:
a. Magnitude (tingkat kesulitan)
Magnitude berkaitan dengan tingkat kesulitan suatu tugas yang dibebankan pada individu. Jika seseorang dihadapkan pada suatu tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitan, maka pengharapan efficacy-nya akan mudah jatuh pada tugas-tugas yang mudah, sedang dan sulit sesuai dengan batas kemampuan yang dirasakan untuk memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan bagi masing-masing tingkat.
b. Strength (tingkat kekuatan)
Strenght berkaitan dengan kekuatan penilaian tentang kecakapan individu. Dimensi Strenght mengacu pada derajat kemantapan individu terhadap keyakinan atau harapan yang dibuatnya. Tingkat efikasi diri yang rendah lebih mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang memperlemahkannya. Individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan tekun meningkatkan usahanya meskipun banyak pengalaman yang memperlemahkannya.
c. Generality (generalisasi)
Generality adalah derajat kemantapan individu terhadap keyakinan akan kemampuannya, yakni berkaitan dengan bidang tugas atau tingkah laku, seberapa luas individu mempunyai keyakinan dalam melaksanakan tugas-tugas. Pengalaman yang berangsur-angsur menimbulkan penguasaan terhadap pengharapan terbatas pada bidang tingkah laku khusus, sedangkan pengalaman lain membangkitkan keyakinan yang meliputi berbagai bidang tugas. Ada individu yang merasa yakin pada bidang-bidang tugas tertentu, ada individu yang merasa yakin pada banyak bidang tugas.
Setiap individu yang mampu memandang dan mengevaluasi ketiga dimensi efikasi diri tersebut secara positif maka akan mempengaruhi pemaknaan hidupnya dan menjadikan kebermaknaan hidupnya menjadi lebih baik. Selain efikasi diri, dukungan sosial juga merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kebermakanaan hidup pada seseorang. Dukungan sosial adalah suatu kesenangan yang dirasakan sebagai perhatian, penghargaan atau pertolongan yang diterima dari orang lain atau kelompok Sarafino (Smet,1994). Lingkungan yang memberikan dukungan sosial tersebut adalah keluarga, kekasih, dan anggota masyarakat. Banyak efek dari dukungan sosial karena dukungan sosial dapat secara positif pula memulihkan kondisi fisik maupun psikologis seseorang, baik itu secara langsung ataupun tidak langsung (Smet, 1994).
House (Smet, 1994) menyatakan jenis dukungan sosial terdiri dari :
a. Dukungan emosional yaitu mencangkup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan (misalnya: umpan balik, penegasan)
b. Dukungan penghargaan dapat terjadi lewat ungkapan hormat (penghargaan) positif orang itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu, dan perbandingan positif orang itu dengan orang lain, seperti misalnya orang-orang yang kurang mampu atau lebih buruk keadaannya (menambah penghargaan diri)
c. Dukungan instrumental yaitu mencangkup bantuan langsung, seperti kalau orang-orang memberi pinjaman uang kepada orang itu atau menolong dengan pekerjaan pada waktu mengalami stress
d. Dukungan informatif yaitu mencangkup memberi nasehat, petunjuk-petunjuk, saran-saran atau umpan balik.
Pada kasus yang sering terjadi di masyarakat, Individu penderita tuberkulosis paru mendapatkan stigma lingkungan, isolasi sosial yang terkadang terdapat penolakan terhadap pasien oleh lingkungan dan keluarga. Dukungan sosial yang paling utama berasal dari dukungan keluarga, karena dukungan keluarga memegang peranan penting dalam kehidupan pasien penderita tuberkulosis agar berjuang untuk sembuh, tetap berpikir maju, dan berkembang dengan rasa optimisme yang dimilikinya dan menjadikan hidupnya lebih bermakna. Hal yang dapat ditimbulkan dari kurangnya mendapatkan dukungan sosial dari keluarga dan lingkungannya antara lain yaitu gangguan jiwa yang komorbid dengan penyakit tuberkulosis. Gangguan jiwa yang menjadi komorbiditi tuberkulosis meliputi depresi, gangguan penyesuaian, anxiety, hilangnya arti dan tujuan hidup, melemahnya produktifitas, fobia dan lainnya (Ginting T. Tuahta, dkk. 2008). Dengan dukungan sosial yang baik dari lingkungan, individu diharapkan merasa diterima, dicintai, dan diharapkan sehingga merasa memiliki makna hidup yang baik. Sebaliknya apabila dukungan sosialnya kurang baik, dikhawatirkan individu penderita Tb akan merasa tidak memiliki makna hidup yang berarti.
Dalam penelitian ini, disebutkan bahwa untuk membangun kebermaknaan hidup individu penderita tuberkulosis tidak terlepas dari peran efikasi diri dan dukungan sosial sebagai faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kebermaknaan hidup. Dari kasus yang sering terjadi, individu penderita tuberkulosis kurang memiliki makna hidup yang berarti karena merasa dikucilkan dalam keluarga dan lingkungan disekitarnya serta menganggap dirinya kurang mampu untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat atau merasa kurang produktif karena mengidap penyakit tuberkulosis. Berdasarkan uraian di atas maka diduga bahwa ada hubungan antara efikasi diri dan dukungan sosial dengan kebermaknaan hidup bagi individu penderita Tb paru.
Mengacu pada uraian di atas, maka penulis merasa tertarik untuk meneliti kebermaknaan hidup penderita TB paru dilihat dari hubungan efikasi diri dan dukungan sosial yang dimiliki penderita.
Hipotesis dalam penelitian ini adalah :
1. Ada hubungan positif antara efikasi diri dan dukungan sosial secara bersama-sama dengan kebermaknaan hidup penderita TB paru.
2. Ada hubungan positif antara efikasi diri dengan kebermaknaan hidup penderita TB paru.
3. Ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan kebermaknaan hidup penderita TB paru.
Metode Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah pasien penderita tuberkulosis paru-paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) Yogyakarta, berjumlah 53 orang, dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Pasien tuberkulosis paru di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) Yogyakarta yang masuk dalam tahap lanjutan (pengobatan dari bulan ke 4 sampai bulan ke 6).
2. Berusia antara 16-45 tahun (usia produktif)
3. Tingkat pendidikan minimal SD.
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Kebermaknaan Hidup, Skala Efikasi Diri, Skala Dukungan Sosial yang masing-masing terdiri dari 24 pernyataan.
Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis regresi ganda, dengan menggunakan bantuan program komputer SPSS 16.0 for Windows.
Hasil dan Pembahasan
Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan teknik analisis regresi ganda. Teknik analisis regresi ganda sebagai salah satu teknik statistik parametik memiliki beberapa syarat, yaitu data berkategori interval/rasio, distribusinya berkategori normal dan hubungan antar variabel yang hendak diukur berkategori linear.
Secara khusus dapat dilihat dari masing-masing variabel, dari Hasil analisis (regression) efikasi diri dengan kebermaknaan hidup menunjukkan koefisien korelasi parsial antara kebermaknaan hidup dengan efikasi diri adalah r=0,606 dengan taraf signifikansi 0,000 (p<0,01) yang berarti semakin tinggi efikasi diri maka kebermaknaan hidup tinggi dan semakin rendah efikasi diri maka kebermaknaan hidup semakin rendah. Hasil tersebut menunjukkan bahwa efikasi diri memiliki hubungan positif yang sangat signifikan terhadap kebermaknaan hidup sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diterima.
Diterimanya hipotesis minor yang pertama yang diajukan oleh peneliti menunjukkan bahwa efikasi diri merupakan salah satu faktor internal yang sangat penting dalam kebermaknaan hidup. Setiap individu memiliki tingkat efikasi diri yang berbeda-beda. Apabila individu memiliki efikasi diri yang tinggi, maka individu akan maksimal dalam melakukan tugas dan peran hidupnya sehingga individu merasa bermakna dalam hidupnya. Sebaliknya apabila individu memiliki efikasi diri yang rendah, maka tugas dan peran hidupnya tidak dikerjakan secara optimal.
Individu yang mempunyai efikasi diri yang tinggi akan terlihat optimis, percaya diri, dan berpandangan positif. Sebaliknya individu dengan efikasi diri rendah akan terlihat pesimis, tidak percaya diri dan dipenuhi perasaan khawatir (Bandura, 1997). Efikasi diri sangat berpengaruh terhadap kebermaknaan hidup. Hal ini dapat dijelaskan bahwa keyakinan akan kemampuan yang dimiliki oleh individu sangat berpengaruh pada cara mengatur tugas dan peranan individu yang bersangkutan secara baik, individu yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan memiliki keyakinan yang kuat bahwa dirinya akan berhasil dalam menjalani suatu peristiwa atau kondisi tertentu didalam hidupnya sehingga individu tersebut akan melakukan berbagai upaya untuk mencapai harapannya yaitu memiliki hidup yang bermakna. Sedangkan individu yang memiliki efikasi diri yang rendah akan mudah putus asa sehingga dalama melakukan tugas atau peranannya dalam kehidupan sehari-hari kurang maksimal dan berarti.
Faktor eksternal dalam hal ini dukungan sosial dari keluarga maupun dari lingkungan yang memiliki peranan cukup penting yang mempengaruhi kebermaknaan hidup individu karena individu adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi sosial dengan lingkungannya, sehingga dukungan sosial dari keluarga dan lingkungannya merupakan salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi tinggi rendahnya kebermaknaan hidup yang dimiliki oleh individu yang bersangkutan.
Dukungan sosial berasal dari sumber-sumber yang ada di lingkungan individu seperti orangtua, teman, keluarga, atau saudara, derta orang lain yang berada didekat individu yang berupa penerimaan, bantuan informasi verbal dan
nonverbal yang diberikan kepada individu, pertolongan dalam bentuk fisik, perhatian emosional, dorongan serta pujian melalui hubungan sosial yang akrab. Jadi dukungan sosial dari keluarga dan lingkungan yang baik akan membuat individu merasa memiliki makna hidup yang berarti. Oleh sebab itu, dapat diketahui bahwa dukungan sosial memiliki peranan yang cukup penting untuk individu dalam memaknai hidupnya. Individu memerlukan bantuan untuk memotivasi hidupnya agar dapat tetap menjalani hidupnya secara baik walaupun dalam kondisi tubuh yang kurang optimal karena terserang bekteri Tb. Apabila dukungan sosial yang diterima oleh individu yang bersangkutan rendah, hal ini dapat menyebabkan individu merasa kurang bermakna di dalam hidupnya, dan hal ini dapat menyebabkan stress karena individu mengalami krisis motivasi.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa analisis dukungan sosial memiliki korelasi positif yang signifikan dengan kebermaknaan hidup koefisien korelasi parsial antara kebermaknaan hidup dengan dukungan sosial adalah r=0,310 dengan taraf signifikansi 0,025 (p<0,05) yang berarti semakin tinggi dukungan sosial maka kebermaknaan hidup semakin tinggi, dan semakin rendah dukungan sosial maka kebermaknaan hidup semakin rendah. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dukungan sosial memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap kebermaknaan hidup sehingga hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini diterima.
Diterimanya hipotesis minor yang kedua yang diajukan oleh peneliti menunjukkan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu faktor eksternal yang cukup penting dalam kebermaknaan hidup. Apabila individu memperoleh dukungan sosial yang tinggi dari keluarga dan lingkungan sosialnya, yang dapat berupa semangat, informasi, penyediaan sarana dan prasarana, maupun reinforcement maka individu akan merasa keberadaannya berarti atau hidupnya bermakna. Sebaliknya apabila individu kurang mendapat dukungan sosial dari keluarga dan lingkungan sosialnya, maka individu yang bersangkutan menjadi merasa kurang berarti atau kurang memiliki kebermaknaan dalam hidupnya karena individu tidak mendapatkan penerimaan yang baik dari lingkungan di sekitarnya.
Dukungan sosial cukup berpengaruh terhadap kebermaknaan hidup. Hal ini dapat dijelaskan bahwa motivasi, informasi, pemenuhan yang diberikan terutama oleh keluarga cukup berpengaruh untuk individu yang bersangkutan. Individu memperoleh dukungan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari dan aktualisasi diri sehingga kebutuhan akan keberartian atau kebermaknaan dalam hidupnya terpenuhi. Individu yang memperoleh dukungan sosial dengan baik dari keluarga dan lingkungan sosialnya akan lebih bersemangat dalam mengatur hidupnya untuk berusaha lebih baik, untuk penderita tuberkulosis misalnya dukungan sosial dapat membantu individu untuk berjuang mendapatkan
kesembuhan dan menjalankan aktivitas normalnya sehari-hari secara baik. Sedangkan individu yang kurang mendapatkan perhatian, arahan, informasi dari keluarga akan menjadi kurang bersemangat dalam mengatur hidupnya.
Dalam penelitian ini juga diketahui bahwa Efikasi diri dan dukungan sosial memberikan sumbangan efektif terhadap kebermaknaan hidup atau koefisien diterminan (
) sebesar 0,493 artinya yaitu terdapat 49,3% pengaruh efikasi diri dan dukungan sosial terhadap kebermaknaan hidup. Hal ini berarti terdapat 50,7% variabel lain yang mempengaruhi kebermaknaan hidup selain efikasi diri dan dukungan sosial. Sumbangan efektif untuk masing-masing variabel adalah (a) efikasi diri terhadap kebermaknaan hidup sebesar 42,17% dan (b) sumbangan efektif dukungan sosial terhadap kebermaknaan hidup sebesar 7,13%. Hal ini dapat diprediksi bahwa efikasi diri memberikan sumbangan yang lebih besar kemungkinannya untuk mempengaruhi kebermaknaan hidup individu dibandingkan dengan dukungan sosial.
Kategorisasi subjek menunjukkan bahwa sebanyak 16 subjek penelitian atau 30,18% dari 53 subjek penelitian memiliki tingkat kebermaknaan hidup yang sedang. Sedangkan 37 subjek penelitian atau 69,81% dari 53 subjek penelitian memiliki tingkat kebermaknaan hidup yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya subjek memiliki kehendak hidup bermakna bagi diri sendiri dan orang lain yang relatif tinggi, hal ini dapat disebabkan karena kemampuan dan keinginan subjek dalam menjalankan peran dan aktivitas hidupnya secara baik walaupun dalam kondisi yang kurang sehat.
Kategorisasi efikasi diri menunjukkan bahwa sebanyak 23 subjek atau 43,39% dari 53 subjek penelitian memiliki efikasi diri yang sedang. Sedangkan 30 subjek atau 56,60% dari 53 subjek penelitian memiliki efikasi diri yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya subjek cenderung sangat baik dalam menentukan atau memastikan terpenuhinya motif mengarah pada tindakan yang diharapkan sesuai situasi yang dihadapi, dan memiliki keyakinan mengenai kemampuan individu untuk menyelesaikan tugas dengan baik yang menentukan perilaku atau tindakan yang benar-benar dilakukan individu tersebut, seberapa besar usaha yang dilakukan dan seberapa besar ketahanan perilaku tersebut untuk mencapai tujuan akhir.
Kategorisasi dukungan sosial menunjukkan bahwa sebanyak 20 subjek atau 37,73% dari 53 subjek penelitian memiliki dukungan sosial yang sedang. Sedangkan 33 subjek penelitian atau 62,26% dari 53 subjek penelitian memiliki efikasi diri yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya subjek mendapatkan dukungan sosial yang cenderung tinggi dari keluarga dan lingkungan sekitarnya, karena individu memperoleh perhatian, motivasi, dan arahan dari orang-orang terdekat dalam menghadapi permasalahan di dalam hidupnya. 
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, analisis data dan pembahasan terhadap hasil penelitian, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Ada hubungan yang signifikan antara efikasi diri dan dukungan sosial keluarga dengan kebermaknaan hidup.
2. Ada hubungan positif yang sangat signifikan antara efikasi diri dengan kebermaknaan hidup. Semakin tinggi efikasi diri, makan semakin tinggi kebermaknaan hidup. Semakin rendah efikasi diri maka semakin rendah kebermaknaan hidup.
3. Ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial keluarga dengan kebermaknaan hidup. Semakin tinggi dukungan sosial, maka semkain tinggi kebermaknaan hidup. Semakin rendah dukungan sosial maka semakin rendah kebermaknaan hidup.
Sumbangan efektif variabel efikasi diri dan dukungan sosial terhadap kebermaknaan hidup sebesar 49,3%. Pengaruh efikasi diri sebesar 7,13% sedangkan variabel dukungan sosial sebesar 42,17%. Hal ini berarti terdapat 50,7% variabel lain, diluar variabel efikasi diri dan dukungan sosial keluarga yang mempengaruhi kebermaknaan hidup
Saran
Berdasarkan landasan teori, hasil penelitian dan pembahasan tentang hubungan antara efikasi diri dan dukungan sosial dengan kebermaknaan hidup maka peneliti dapat memberikan saran sebagai berikut :
1. Saran Teoritis
Hasil ini dapat menjadi salah satu informasi bagi peneliti selanjutnya yang terkait dengan masalah kebermaknaan hidup, agar lebih memperluas variabel dan mengontrol variabel-variabel lain yang mungkin dapat mempengaruhi kebermaknaan hidup, seperti pengaruh kepercayaan diri, tingkat religiusitas, kemapanan.
Selain itu, peneliti sebaik melakukan penelitian dengan subjek yang berbeda atau tempat penelitian yang berbeda dengan peneliti saat ini. Peneliti lain hendaknya melakukan wawancara dan observasi agar memperoleh data awal yang lebih detai dan mendalam.
2. Saran Praktis
a. Bagi pasien penderita tuberkulosis agar lebih meningkatkan efikasi diri yang dimiliki sehingga kebermaknaan hidup dapat dimiliki sekalipun
dalam kondisi yang kurang sehat atau dalam masa penyembuhan penyakit tuberkulosis. Peningkatan pada efikasi diri akan membuat individu atau pasien penderita tuberkulosis memiliki semangat hidup untuk memperoleh kesembuhan, dan mampu menjalankan peran dan tugasnya secara baik.
b. Bagi keluarga, supaya dapat memberikan dukungan sosial yang terdiri dari dukungan emosional seperti memberikan perhatian dan semangat, dukungan informatif berupa nasihat dan arahan sesuai dengan kebutuhan anggota keluarga yang menderita penyakit tuberkulosis, dukungan instrumental seperti memberikan dana untuk berobat, pemberian makanan bergizi, dan dukungan penghargaan yang dapat dilakukan dengan memberikan penghargaan apabila penderita TB mengalami kemajuan dalam memperoleh kesembuhan.
c. Bagi lingkungan sosial, supaya dapat memberikan dukungan sosial seperti memberikan motivasi kepada teman atau kerabat yang menderita penyakit TB agar memiliki semangat dan tetap merasa memiliki kebermaknaan hidup yang baik dan bukan justru menjauhi sang penderita, karena penderita TB cenderung sensitif dengan respon orang di sekitarnya akibat penyakit TB yang dideritanya.
d. Saran bagi pihak medis khususnya di Balai Pengobatan Penyakit Paru-paru (BP4) yang khusus menangani pasien TB Paru supaya tetap memberikan pelayanan kesehatan secara baik, komunikatif, dan memberikan perhatian dan motivasi kepada setiap pasien TB yang menjalani pengobatan, supaya pasien tanpa ada unsur paksaan dari pihak luar sekalipun pasien patuh dalam menjalani pengobatan, hal ini dilakukan karena pasien merasa hidupnya bermakna.

DAFTAR PUSTAKA
2008. Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bandura, A. 1997. Self Efficacy: The Exercise of Control. New York: Freeman and Company
Bastaman, H.D. 1996. Meraih Hidup Bermakna. Jakarta: Paramadina.
Bastaman, H.D. 2005. Integrasi Psikologi dengan Islam Menuju Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar dan yayasan Insan Kamil.
Bastaman, H.D. 2007. Logoterapi Psikologi untuk Menemukan Makna Hidup dan Meraih hidup Bermakna. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Chotijah, S. 2007. Perbedaan Kebermaknaan Hidup pada Lanjut Usia yang Tinggal Bersama Keluarga dan yang Tinggal di Panti. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.
Depkes, R I. 2002. Pedoman Nasional Penangulangan Tuberkulosis. Jakarta.
Eviana, D. 2005. Hubungan antara Emosi Positif dengan Kebermaknaan Hidup pada Wanita Dewasa Madya. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan.
Farhati, F dan Rosyid, H.F. 1996. Karakteristik Pekerjaan, Dukungan Sosial dan Tingkat Burn-out pada Non Human Service Corpooration. Jurnal Psikologi. 1. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Francis, S. dan Satiadarma, M.P. 2004. Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Kesembuhan Ibu yang Mengidap Kanker Payudara. Jurnal Ilmiah Psikologi “ARKHE”. 1. Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada.
Frankl, V.E. 2003. Logoterapi: Terapi Psikologi melalui Pemaknaan Eksistensi. Penerjemah: M. Murtadlo. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Frankl, V.E. 2004. Man’s Search for Meaning, Mencari Makna Hidup. Pengalih Bahasa: Dharma L.H. Bandung Nuansa Cendekia.
Ginting T. Tuahta, dkk. 2008. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Timbulnya Gangguan Jiwa pada penderita Tuberkulosis Paru Dewasa
di RS. Persahabatan. Jurnal Respir Indo Vol.28, No. 1. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Greenberg. 1996. Managing Behavior in Organizational. New Jersey: Prentice Hall Inc.
Hadi, S. 2004. Statistik Jilid 2. Yogyakarta: Andi
Hawari, D. 1997. Kesehatan Mental dan Penanggulangannya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Jaggarajamma, K., Ramachandran, R., Charles, N., & Chandrasekaran. 2008. Psycho-Sosial dysfunction: Perceived and enacted stigma among tuberculosis patient registered under revised national tuberculosis control programme. Indian Journal of Tuberculosis, 55, 179-187
Johnson, D. W, Johnson. F. 1991. Joining Together. Group Theory and Group Skill. Fourth Edition. Englewood Cliffts. Prentice Hall Inc
Kelly, P. 2003. Isolationand stigma: The experience of patients with active tuberculosis. Journal of community health nursing, 63 (6), 518-526.
Koeswara, E. 1992. Logoterapi: psikologi Viktor Frankl. Yogyakarta: Kanisius.
Safaria, T. 2008. Perbedaan Tingkat Kebermaknaan Hidup antara Kelompok Pengguna NAPZA dengan Kelompok Non—Pengguna NAPZA. Humanitas. Vol.5, No.1, 67-79.
Selvianti dan Aryani, L. Self Efficacy penderita Kanker Payudara.
Smet, B. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Grasindo
Soleh, M. 2001. Kebermaknaan Hidup Mahasiswa Reguler dan Mahasiswa Unggulan Universitas Islam Indonesia. Psikologika. No.11,53-63.
Sugiyono, 2011. Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta.
Tasmara, T. 2001. Kecerdasan Ruhaniah Membentuk Kepribadian yang Bertanggung Jawab, Professional dan Berakhlak. Jakarta: Gema Insani Press.
World Health Organization, (2005). Dalam: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta
World Health Organization, (2010). Dalam: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar